Case 03 : bag-01 (lanjutan, daripada Bro Showa mati penasaran) :P
Untuk ke sekian kalinya, Ian masuk ke ruang kecil yang penuh dengan
berkas-berkas di rak-rak tinggi. Hawa ruangan itu masi terasa pengap
meski AC telah diset ke suhu minimal. Lantai karpet terasa sedikit
lembab karena keringat, dan aroma sperma samar-samar tercium.
“Bukan salahku kalau kau tidak suka dengan keadaan ruang kerjaku sekarang, kau hanya datang di waktu yang kurang tepat saja”, Mr. Wise membakar tembakau di pipa hisapnya.
“Tidak masalah”, jawab Ian pelan seraya duduk di kursi yang disiapkan untuk tamu.
“Case ini baru dibuka dua hari yang lalu, tadinya aku mau menawarkannya ke Hard Bougenville, kau tahu, akhir-akhir ini dia sedang mengejar peringkat di Association”, Mr. Wise membuka lacinya dan mengeluarkan sebuah map plastik berwarna biru tua.
“Orang tua itu… si Hard Bougenville, bukankah dia selalu berantakan?”, Ian mencibir, ingatannya terlempar ke sebuah case pembantaian di sebuah villa dimana Hard Bougenville lah pelakunya. Sepuluh rumah yang penuh penghuni, para anak kecil yang tidak bersalah, dibunuh dengan kepala terpisah dari badannya, dan diselipkan sekuntum bunga Bougenville biru di tenggorokan masing-masing mayat. Cara kasar yang sangat menjijikkan.
“Association melepaskannya dengan syarat, dia tidak dapat menerima semua case, hanya beberapa case yang memang membutuhkan pembantaian massal, atau atas rekomendasi Agen tipe B yang dipercaya seperti aku”, Mr. Wise menjelaskan perihal Hard Bougenville yang sempat dibekukan oleh Association.
“Cih..”, ian mencibir, “kenapa tidak mereka musnahkan saja psikopat menjijikkan seperti dia?”.
“Agen tipe A yang beroperasi di Indonesia saat ini hanya ada tiga, kan?. Kau, Silent Rose yang saat ini bisa dibilang sebagai ujung tombak Association di Indonesia, Lazy Frangipani yang sampai sekarang tidak jelas kabarnya, dan Cheerfull Jasmine yang lebih suka mengambil Case di luar negeri. Secara teknis, hanya kaulah yang siap beroperasi, itu kenapa Association berpikir Hard Bougenville masih dibutuhkan”.
Ingatan Ian kembali terlempar ke sosok Cheerfull Jasmine, sosok wanita berusia sekitar dua puluh tujuh tahun yang sangat menawan, energik, dan lincah. Ingatannya kembali berputar pada pertemuan pertama mereka di kafe ini. Dan yang paling membekas di ingatan Ian adalah lekuk tubuh Jasmine yang membuat Ian melepas keperjakaannya. Sungguh suatu masa yang sangat layak untuk diulangi kembali.
“sebaiknya kau tidak banyak melamun atau case ini benar-benar kuberikan ke Hard Bougenville”, ucapan Wise Crow mengembalikan kesadaran Ian. Ian mengeluarkan berkas yang ada di dalam map biru di meja lalu membacanya dengan seksama.
“Pembalakan liar yang dilakukan di pulau milik pribadi”, gumam Ian membaca berkas tersebut. “Aku tidak melihat hal itu akan merugikan orang lain, toh itu pulau milik pribadi”.
“Seperti pulau pribadi milik Antonius Handoko?”, sindiran Mr. Wise terasa sangat mengena, raut wajah Ian langsung berubah. “tidak akan merugikan jika pulau itu adalah sarang para sindikat narkoba”.
“ada lagi? Setelah kita habisi sindikat demi sindikat?”, Ian bertanya. Rasanya sudah banyak sindikat narkotika yang dia habisi, namun masih saja ada sindikat.
“yang kau potong hanya ranting”, jawab Mr. Wise ringan, ekspresi wajahnya datar dan terasa sangat menyebalkan bagi Ian. Jika saja Ian tidak terbiasa dengan sikap dingin Wise Crow, mungkin Ian sudah menggulung map di tangannya dan menancapkan ke mata Wise Crow.
“kenapa tidak ke akarnya langsung?”, Ian mulai sebal dengan aksi Association yang dianggapnya terlalu membuang-buang waktu.
“hoo… kau akan mencabut akarnya sehingga pohon itu tumbang dan menghancurkan lebih banyak bangunan di sekitarnya?”, permainan psikologis mulai dimainkan oleh Wise Crow, dia melipat kedua tangannya di atas meja. “banyak sekali pembuat strategi handal di Association, mereka lebih tahu yang terbaik daripada aku dan kamu, Silent Rose”.
Ian terdiam, dia tahu tidak ada gunanya melanjutkan pembicaraan ini, harus diakui, selama masa karantinanya, dia telah melihat banyak sekali pertimbangan dan faktor yang dihitung sebelum mengambil sebuah keputusan. Ian tahu sendiri, Association penuh dengan orang yang mampu untuk itu.
“Aku ambil case ini”, Ian menjawab dengan tenang sambil memainkan ponselnya. Beberapa detik kemudian, Ian menunjukkan isi layar kepada Wise Crow, seperti biasanya.
“Terjual pada Silent Rose”, Mr. Wise terlihat puas. “sekarang mungkin kau mau membeli informasi pendukung tentang case yang ditangani Lazy Franginpani?, aku akan memberimu bonus hak untuk menikmati tubuh Rinda, kau bisa jadi pria keempat yang pernah menikmatinya”.
“Aku beli semua informasi yang kau punya, tunjukkan saja harganya dan abaikan soal gadis malang itu, aku tidak berminat”, jawab Silent Rose dingin.
Name : Samuel Sofyan Fondo
Age : 23
Status : Enviromental Hazard
Deathline : this year
Proof file : attached
Case Class : 92 STARS
-Handled by Silent Rose-
Pulau Iyu Kecil terletak di perbatasan Indonesia di selat Malaka, sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Samuel Sofyan Fondo membelinya secara ilegal dari pejabat pemerintahan, dan mendirikan sebuah rumah peristirahatan pribadi yang cukup megah. Meski awalnya hanya digunakan sebagai rumah peristirahatan, pada akhirnya Fondo malah menghabiskan waktu jauh lebih banyak di pulau itu.
Samuel Fondo adalah pria keturunan Belanda, mewarisi harta Ayahnya, seorang konglomerat yang tidak begitu menonjol di Indonesia. Dia pandai memainkan perannya sebagai tokoh berpengaruh di belakang layar. Tidak tampil mencolok, namun dibutuhkan oleh orang-orang sekitarnya.
Rumah peristirahatannya yang megah tampak sedikit tersembunyi, dikelilingi beberapa pagar listrik bertegangan tinggi. Samuel Fondo bukan orang yang teledor seperti Antonius Handoko, dia benar-benar menjaga keamanannya.
Dan saat ini, Fondo tengah duduk di kursinya menikmati anggur putih kesukaannya, sesekali dia memeriksa tumpukan berkas yang ada di mejanya, di hadapannya, seorang laki-laki yang tampak jauh lebih tua darinya duduk. Laki-laki itu mengenakan setelan jas hitam rapi.
“Ini hasil yang kita dapat dari bermain di kawasan putih, Pak Bosman?”, Fondo menghempaskan dokumen yang tadi diperiksanya, beberapa lembar terlempar hingga jatuh ke lantai. Pak Bosman hanya duduk diam tanpa bicara melihat sikap bos mudanya itu.
Fondo menatap Pak Bosman dalam-dalam, seolah memperhatikan setiap detail kerut yang ada di wajah tua itu. Pak Bosman sudah berusia lima puluh tahun lebih, beliau adalah orang yang dapat dipercaya untuk menyimpan rahasia. Namun, akhir-akhir ini produktivitasnya turun, mungkin karena usianya yang sudah tua.
“Kau sudah mulai tua, Pak Bosman”, ujar Fondo sambil tersenyum. “Kuakui, sangat sulit mendapatkan orang sepertimu, dapat dipercaya dan mampu memberi solusi yang baik. Tapi harus diakui, pada akhirnya usialah yang menang”.
Kekhawatiran muncul seketika di wajah tua Pak Bosman, Fondo tersenyum menyadari kekhawatiran itu.
“Saya masih mampu”, bibir Bosman sedikit bergetar saat mengucapkan kalimat itu.
“Aku tidak bilang kau sudah tidak mampu, Pak Bosman”, senyumnya semakin melebar. “Aku hanya bilang, mungkin sudah waktunya bagimu duduk dan menjadi pemain di belakang layar bersama para direktor yang lain”.
Kata-kata itu tidak membuat kerisauan di wajah Bosman memudar, selama ini dia memang mendengar tentang para direktor yang hidup dalam kenyamanan yang terjamin. Namun, selama ini hanya itulah satu-satunya yang dia ketahui tentang para direktor. Tidak satu kalipun dia pernah melihat wajah-wajah yang disebut sebagai “para direktor”.
“Saya rasa, belum waktunya bagi saya untuk menjadi direktor… saya kurang pantas”, nada ucapan Bosman bergetar, bahkan kini dia terlihat makin takut.
“Sangat pantas menurutku”, Fondo membuka laci mejanya. “Kau sudah waktunya memetik buah manis dari pengabdianmu selama ini pada mendiang Ayahku, dan juga padaku”.
“Aku rasa paman anda tidak akan setuju, tuan muda…”.
Kalimat Bosman terhenti tepat di saat sebuah pistol SIG P2022 -yang biasa digunakan oleh polisi-polisi Malasyia- diarahkan tepat ke depan keningnya. Fondo baru saja mengambil pistol tersebut dari dalam laci meja kerjanya.
“Bagaimana kalau kau bertanya langsung pada Pamanku di neraka?”, Fondo berkata cepat seraya menarik pelatuk.
Sebuah letupan keras terdengar beberapa detik kemudian, hanya beberapa detik sebelum sebuah peluru menembus tulang tengkorak Bosman. Pak Tua itu terjengkang ke belakang, jatuh dari kursinya. Rambutnya basah, basah seperti orang yang sedang keramas, keramas menggunakan darahnya sendiri.
Fondo muda menekan tombol untuk memanggil pelayan. Tidak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dengan celana kain masuk ke dalam ruangannya. Pemuda itu melihat mayat Bosman tanpa rasa terkejut, mungkin sudah berkali-kali dia melihat pemandangan seperti itu, dan yang kali ini tidak menjadi masalah baginya.
“Anda memanggil saya, tuan Fondo?”, ucap pelayan muda itu dengan sopan.
“Bereskan, lima menit lagi aku mau semuanya sudah bersih”, Fondo beranjak dari kursinya dan bergegas meninggalkan ruangan, sampai di depan pintu, langkahnya terhenti. “dan hubungi Melanie, aku ingin dia menemuiku disini malam ini”, tambahnya sambil berlalu.
BERSAMBUNG ke Case 03 Bag. 02 (kali ini beneran)
“Bukan salahku kalau kau tidak suka dengan keadaan ruang kerjaku sekarang, kau hanya datang di waktu yang kurang tepat saja”, Mr. Wise membakar tembakau di pipa hisapnya.
“Tidak masalah”, jawab Ian pelan seraya duduk di kursi yang disiapkan untuk tamu.
“Case ini baru dibuka dua hari yang lalu, tadinya aku mau menawarkannya ke Hard Bougenville, kau tahu, akhir-akhir ini dia sedang mengejar peringkat di Association”, Mr. Wise membuka lacinya dan mengeluarkan sebuah map plastik berwarna biru tua.
“Orang tua itu… si Hard Bougenville, bukankah dia selalu berantakan?”, Ian mencibir, ingatannya terlempar ke sebuah case pembantaian di sebuah villa dimana Hard Bougenville lah pelakunya. Sepuluh rumah yang penuh penghuni, para anak kecil yang tidak bersalah, dibunuh dengan kepala terpisah dari badannya, dan diselipkan sekuntum bunga Bougenville biru di tenggorokan masing-masing mayat. Cara kasar yang sangat menjijikkan.
“Association melepaskannya dengan syarat, dia tidak dapat menerima semua case, hanya beberapa case yang memang membutuhkan pembantaian massal, atau atas rekomendasi Agen tipe B yang dipercaya seperti aku”, Mr. Wise menjelaskan perihal Hard Bougenville yang sempat dibekukan oleh Association.
“Cih..”, ian mencibir, “kenapa tidak mereka musnahkan saja psikopat menjijikkan seperti dia?”.
“Agen tipe A yang beroperasi di Indonesia saat ini hanya ada tiga, kan?. Kau, Silent Rose yang saat ini bisa dibilang sebagai ujung tombak Association di Indonesia, Lazy Frangipani yang sampai sekarang tidak jelas kabarnya, dan Cheerfull Jasmine yang lebih suka mengambil Case di luar negeri. Secara teknis, hanya kaulah yang siap beroperasi, itu kenapa Association berpikir Hard Bougenville masih dibutuhkan”.
Ingatan Ian kembali terlempar ke sosok Cheerfull Jasmine, sosok wanita berusia sekitar dua puluh tujuh tahun yang sangat menawan, energik, dan lincah. Ingatannya kembali berputar pada pertemuan pertama mereka di kafe ini. Dan yang paling membekas di ingatan Ian adalah lekuk tubuh Jasmine yang membuat Ian melepas keperjakaannya. Sungguh suatu masa yang sangat layak untuk diulangi kembali.
“sebaiknya kau tidak banyak melamun atau case ini benar-benar kuberikan ke Hard Bougenville”, ucapan Wise Crow mengembalikan kesadaran Ian. Ian mengeluarkan berkas yang ada di dalam map biru di meja lalu membacanya dengan seksama.
“Pembalakan liar yang dilakukan di pulau milik pribadi”, gumam Ian membaca berkas tersebut. “Aku tidak melihat hal itu akan merugikan orang lain, toh itu pulau milik pribadi”.
“Seperti pulau pribadi milik Antonius Handoko?”, sindiran Mr. Wise terasa sangat mengena, raut wajah Ian langsung berubah. “tidak akan merugikan jika pulau itu adalah sarang para sindikat narkoba”.
“ada lagi? Setelah kita habisi sindikat demi sindikat?”, Ian bertanya. Rasanya sudah banyak sindikat narkotika yang dia habisi, namun masih saja ada sindikat.
“yang kau potong hanya ranting”, jawab Mr. Wise ringan, ekspresi wajahnya datar dan terasa sangat menyebalkan bagi Ian. Jika saja Ian tidak terbiasa dengan sikap dingin Wise Crow, mungkin Ian sudah menggulung map di tangannya dan menancapkan ke mata Wise Crow.
“kenapa tidak ke akarnya langsung?”, Ian mulai sebal dengan aksi Association yang dianggapnya terlalu membuang-buang waktu.
“hoo… kau akan mencabut akarnya sehingga pohon itu tumbang dan menghancurkan lebih banyak bangunan di sekitarnya?”, permainan psikologis mulai dimainkan oleh Wise Crow, dia melipat kedua tangannya di atas meja. “banyak sekali pembuat strategi handal di Association, mereka lebih tahu yang terbaik daripada aku dan kamu, Silent Rose”.
Ian terdiam, dia tahu tidak ada gunanya melanjutkan pembicaraan ini, harus diakui, selama masa karantinanya, dia telah melihat banyak sekali pertimbangan dan faktor yang dihitung sebelum mengambil sebuah keputusan. Ian tahu sendiri, Association penuh dengan orang yang mampu untuk itu.
“Aku ambil case ini”, Ian menjawab dengan tenang sambil memainkan ponselnya. Beberapa detik kemudian, Ian menunjukkan isi layar kepada Wise Crow, seperti biasanya.
“Terjual pada Silent Rose”, Mr. Wise terlihat puas. “sekarang mungkin kau mau membeli informasi pendukung tentang case yang ditangani Lazy Franginpani?, aku akan memberimu bonus hak untuk menikmati tubuh Rinda, kau bisa jadi pria keempat yang pernah menikmatinya”.
“Aku beli semua informasi yang kau punya, tunjukkan saja harganya dan abaikan soal gadis malang itu, aku tidak berminat”, jawab Silent Rose dingin.
*_*_*
Name : Samuel Sofyan Fondo
Age : 23
Status : Enviromental Hazard
Deathline : this year
Proof file : attached
Case Class : 92 STARS
-Handled by Silent Rose-
*_*_*
Pulau Iyu Kecil terletak di perbatasan Indonesia di selat Malaka, sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Samuel Sofyan Fondo membelinya secara ilegal dari pejabat pemerintahan, dan mendirikan sebuah rumah peristirahatan pribadi yang cukup megah. Meski awalnya hanya digunakan sebagai rumah peristirahatan, pada akhirnya Fondo malah menghabiskan waktu jauh lebih banyak di pulau itu.
Samuel Fondo adalah pria keturunan Belanda, mewarisi harta Ayahnya, seorang konglomerat yang tidak begitu menonjol di Indonesia. Dia pandai memainkan perannya sebagai tokoh berpengaruh di belakang layar. Tidak tampil mencolok, namun dibutuhkan oleh orang-orang sekitarnya.
Rumah peristirahatannya yang megah tampak sedikit tersembunyi, dikelilingi beberapa pagar listrik bertegangan tinggi. Samuel Fondo bukan orang yang teledor seperti Antonius Handoko, dia benar-benar menjaga keamanannya.
Dan saat ini, Fondo tengah duduk di kursinya menikmati anggur putih kesukaannya, sesekali dia memeriksa tumpukan berkas yang ada di mejanya, di hadapannya, seorang laki-laki yang tampak jauh lebih tua darinya duduk. Laki-laki itu mengenakan setelan jas hitam rapi.
“Ini hasil yang kita dapat dari bermain di kawasan putih, Pak Bosman?”, Fondo menghempaskan dokumen yang tadi diperiksanya, beberapa lembar terlempar hingga jatuh ke lantai. Pak Bosman hanya duduk diam tanpa bicara melihat sikap bos mudanya itu.
Fondo menatap Pak Bosman dalam-dalam, seolah memperhatikan setiap detail kerut yang ada di wajah tua itu. Pak Bosman sudah berusia lima puluh tahun lebih, beliau adalah orang yang dapat dipercaya untuk menyimpan rahasia. Namun, akhir-akhir ini produktivitasnya turun, mungkin karena usianya yang sudah tua.
“Kau sudah mulai tua, Pak Bosman”, ujar Fondo sambil tersenyum. “Kuakui, sangat sulit mendapatkan orang sepertimu, dapat dipercaya dan mampu memberi solusi yang baik. Tapi harus diakui, pada akhirnya usialah yang menang”.
Kekhawatiran muncul seketika di wajah tua Pak Bosman, Fondo tersenyum menyadari kekhawatiran itu.
“Saya masih mampu”, bibir Bosman sedikit bergetar saat mengucapkan kalimat itu.
“Aku tidak bilang kau sudah tidak mampu, Pak Bosman”, senyumnya semakin melebar. “Aku hanya bilang, mungkin sudah waktunya bagimu duduk dan menjadi pemain di belakang layar bersama para direktor yang lain”.
Kata-kata itu tidak membuat kerisauan di wajah Bosman memudar, selama ini dia memang mendengar tentang para direktor yang hidup dalam kenyamanan yang terjamin. Namun, selama ini hanya itulah satu-satunya yang dia ketahui tentang para direktor. Tidak satu kalipun dia pernah melihat wajah-wajah yang disebut sebagai “para direktor”.
“Saya rasa, belum waktunya bagi saya untuk menjadi direktor… saya kurang pantas”, nada ucapan Bosman bergetar, bahkan kini dia terlihat makin takut.
“Sangat pantas menurutku”, Fondo membuka laci mejanya. “Kau sudah waktunya memetik buah manis dari pengabdianmu selama ini pada mendiang Ayahku, dan juga padaku”.
“Aku rasa paman anda tidak akan setuju, tuan muda…”.
Kalimat Bosman terhenti tepat di saat sebuah pistol SIG P2022 -yang biasa digunakan oleh polisi-polisi Malasyia- diarahkan tepat ke depan keningnya. Fondo baru saja mengambil pistol tersebut dari dalam laci meja kerjanya.
“Bagaimana kalau kau bertanya langsung pada Pamanku di neraka?”, Fondo berkata cepat seraya menarik pelatuk.
Sebuah letupan keras terdengar beberapa detik kemudian, hanya beberapa detik sebelum sebuah peluru menembus tulang tengkorak Bosman. Pak Tua itu terjengkang ke belakang, jatuh dari kursinya. Rambutnya basah, basah seperti orang yang sedang keramas, keramas menggunakan darahnya sendiri.
Fondo muda menekan tombol untuk memanggil pelayan. Tidak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dengan celana kain masuk ke dalam ruangannya. Pemuda itu melihat mayat Bosman tanpa rasa terkejut, mungkin sudah berkali-kali dia melihat pemandangan seperti itu, dan yang kali ini tidak menjadi masalah baginya.
“Anda memanggil saya, tuan Fondo?”, ucap pelayan muda itu dengan sopan.
“Bereskan, lima menit lagi aku mau semuanya sudah bersih”, Fondo beranjak dari kursinya dan bergegas meninggalkan ruangan, sampai di depan pintu, langkahnya terhenti. “dan hubungi Melanie, aku ingin dia menemuiku disini malam ini”, tambahnya sambil berlalu.
*_*_*
BERSAMBUNG ke Case 03 Bag. 02 (kali ini beneran)
Comments
Post a Comment