Case 03 : Saksi hutan (bag. 02)

Deru mesin dan deru ombak berbaur menjadi satu kala sebuah kapal yacht berwarna biru berlogo FONDO – corp membelah lautan yang mulai gelap. Matahari baru saja terbunuh di ufuk timur, membuat langit memerah seolah terluka. Di salah satu ruangan pribadi di yacht itu, Eddy Arya, salah satu relasi bisnis yang sudah lama sekali menjalin hubungan kerja dengan perusahaan milik Fondo, duduk tenang di atas sofa, seorang gadis cantik sedang sibuk berlutut di antara selangkangannya.

Sesekali Eddy mengerang, tubuh gemuknya tampak sedikit menggeliat, saat gadis itu memanjakan batang kejantanannya dengan lidah dan hisapan-hisapan kecil. Eva, nama gadis itu, sedang memberi blowjob terbaik pada orang kaya tua itu. Meski sebenarnya Eva sedikit risih karena Eddy bukan satu-satunya pria di ruangan itu.

Ada tiga laki-laki lain selain Eddy di ruangan itu, satu diantara ketiganya terlihat babak belur dengan beberapa lebam di wajahnya. Satu pria lagi terlihat cukup berumur dengan badan besar yang penuh dengan otot. Sedang satu pria yang tersisa adalah pemuda berbadan sedang dengan wajah yang cukup tampan.

Eva mengulum penis Eddy dengan penuh perasaan, setidaknya itu dilakukannya untuk membuang rasa risih atas tatapan ketiga pria lain di ruangan itu. Gadis cantik berambut panjang itu menggerakkan kepalanya naik turun semakin cepat. Membuat Eddy memejamkan mata semakin rapat.

“Ouhhh…”, Eddy menggeram ketika mencapai puncaknya. Dia mencengkeram kepala Eva dan menyemprotkan cairannya langsung ke dalam tenggorokan gadis cantik itu. Eva sedikit tersedak, bagaimanapun, ini adalah sperma pertama yang ditelannya.

Eddy mengejang selama beberapa detik, dan membiarkan seluruh batang kejantanannya amblas ke dalam mulut Eva sebelum mencabutnya. Eva tersungkur sambil sedikit terbatuk-batuk, beberapa cairan yang tak tertelan menetes dari sudut bibirnya.

“Sedikit amatir, tapi sungguh luar biasa, cantik!”, kepuasan tampak di wajah Eddy Arya. Eva masih meringkuk diam, T-shirt ketat berwarna kuning yang dikenakannya sudah terangkat dekat leher bersama dengan bra yang dikenakannya, membuat dua buah payudaranya terlihat naik-turun, kala dia mengatur nafas.

Eddy tua itu memasukkan kejantanannya ke dalam celana, dan memasang kembali resleting celananya. Melihat apa yang dilakukan oleh Eddy, Eva mulai membenahi pakaiannya yang berantakan, namun Eddy menahannya.

“oke nona manis, sekarang berdiri dan buka seluruh pakaianmu”, perintah Eddy terdengar jelas. Eva sedikit terkejut, baru saja dia pikir tugasnya selesai.

Eva berdiri dengan sedikit ragu, memegang ujung kaosnya yang sudah tergulung, berhenti sejenak dan mulai menarik kaos itu lepas lewat atas kepalanya. Kaos itu terjatuh di samping kakinya, disusul dengan bra merah muda yang dikenakannya. Kini, tubuh bagian atasnya telah telanjang, menampilkan kedua buah dadanya yang membulat indah.

Gadis itu kini menyentuh tepi celana jeans biru tua yang sudah terbuka saat Eddy mengobok-obok vaginanya. Eva menarik turun tepi celananya hingga paha, berhenti sejenak dan melayangkan pandangan pada sosok di dalam ruangan itu, sebelum menarik turun jeans itu hingga lepas.

Eddy menatap gadis itu sambil tersenyum nakal, sedang pria lain di ruangan itu tidak melepaskan pandangan dari tubuh Eva saat gadis itu menurunkan celana dalamnya hingga tak satupun benang menutupi tubuh telanjang gadis itu.

Eva bergidik dalam hati, satu-satunya pengalaman telanjang di depan lebih dari satu pria adalah saat dia mengalami perkosaan di pulau. Dan bisa dibilang, inilah pertama kalinya dia menelanjangi dirinya sendiri di depan beberapa pria. Tangannya bergerak reflek menutupi kedua payudaranya. Dapat dia rasakan seluruh mata di ruangan itu menelusuri lekuk indah tubuh telanjangnya.

“Wow”, pria dengan wajah penuh lebam tidak bisa menahan kagumnya saat melihat tubuh telanjang Eva, nafasnya pria itu mulai terdengar memburu.

Eddy beranjak dari sofanya dan mendekat ke arah Eva yang berdiri diam dengan tubuh telanjang menghadapnya. Dengan lembut Eddy menempatkan kedua tangannya di lekuk pinggang Eva, lalu membalikkan badan Eva. Kini, Eva berhadapan langsung dengan tiga laki-laki lain di ruangan itu.

Tubuh Eva sedikit terlonjak saat tangan Eddy bergerak meremas payudara kanannya, seolah memamerkan betapa kenyal dan padatnya buah dada Eva ke tiga pria lain di depannya. Eva hanya diam saat Eddy memeluknya dari belakang, dan meremas kedua buah dadanya di hadapan para pria itu.

Sejenak Eva melayangkan pandangan ke sosok di ruangan itu, sebelum mulai memejamkan mata dan melenguh, menikmati remasan nikmat di buah dadanya. Eddy mulai mencium tengkuk dan leher gadis itu sambil sesekali memandang ke ketiga anak buahnya.

Pria dengan wajah penuh lebam tampak terpana dengan apa yang dilakukan oleh bosnya, nafasnya memburu, dapat dikatakan bahwa sekarang penisnya pasti sangat tegang. Mata pria itu tampak tidak lepas dari buah dada Eva yang sedang dipermainkan oleh Bosnya.

Pria tua kekar menunjukkan hal yang sama, meski terlihat lebih tenang, namun nafas pria tua itu memburu. Pandangannya terlihat bergairah, sesekali dia bergerak untuk membetulkan sesuatu di dalam celananya. Sesuatu yang terlihat sedang berontak.

Pandangan Eddy terhenti pada sosok terakhir yang ada di ruangan itu, pemuda itu terlihat begitu tenang, matanya memang terarah ke apa yang dilakukan Eddy pada tubuh telanjang Eva, namun nafasnya sama sekali tidak terlihat memburu. Raut wajah pemuda itu tampak biasa saja, seolah-olah dia sudah sering melihat adegan seperti itu.

Jari jemari Eddy kini bergerak ke bawah, menyentuh liang kenikmatan Eva yang memang terlihat sangat terawat dan sempit. Eddy menggerakkan telunjuknya menyusuri belahan vagina Eva, membuat Eva menggelinjang kecil sambil mendesis nikmat. Tidak berhenti disitu, Eddy juga menggerakkan ibu jarinya menyentuh gundukan kecil di bagian atas vagina indah itu.

“Ah!”, Eva memekik tertahan saat merasakan ibu jari itu menyentuh titik sensitifnya, memberi kenikmatan pada dirinya. Eddy terus bergerak sambil memperhatikan reaksi ketiga anak buahnya.

“Berapa kontol yang sudah masuk kesini?”, Eddy bertanya sambil sedikit menekan bibir kewanitaan Eva dengan telunjuknya.

“Ungh…, baru satu”, jawab Eva jujur. Memang, hingga detik ini hanya mantan kekasihnyalah yang pernah menikmati jepitan liang kewanitaannya. Eva bukan gadis yang berpengalaman, hanya dua kali dia melakukan hubungan seksual. Namun entah kenapa, dijamah di hadapan banyak pria memberikan sensasi tersendiri yang membuatnya cepat bergairah. Sangat bergairah hingga dia sedikit lupa akan peran yang dimainkannya dan menjawab pertanyaan itu dengan jujur.

“Kalau begitu sebentar lagi akan ada dua”, Eddy berkata sambil menarik tubuh Eva ke belakang.

Eddy melepas pelukannya dari tubuh telanjang Eva dan membuka kembali celananya. Batang kejantanannya belum tegang setelah melepaskan muatannya tadi. Eddy kembali duduk di atas sofa.

“hisap lagi”, perintahnya pada Eva.

Gadis itu kembali berlutut di sela-sela selangkangan orang tua kaya itu, tangan lentiknya mengenggam lembut batang kejantanan pertama yang memuntahkan isinya ke dalam mulutnya. Eva mulai mengocok penis itu dengan lembut, sebelum memasukkan penis yang belum tegang itu ke dalam mulutnya dan mulai menghisap.

“Ouhh… nikmat hisapanmu nona cantik”, puji Eddy kembali menikmati oral sex dari Eva. “Sekarang, sambil kontolku kamu hisap, memekmu akan dimasuki kontol kedua”, Eddy melemparkan pandangannya pada tiga anak buahnya.


*_*_*

Jakarta, 2 Hari sebelumnya

Eva baru saja menyelesaikan makan malamnya saat Ian kembali dari 7th avenue Café. Hujan mengguyur Jakarta malam itu. Ian melemparkan jaket kulit hitamnya ke atas sofa di ruang keluarga, lalu berjalan ke arah Eva yang masih duduk di meja makan.

“Sudah makan?”, suara Eva terdengar lembut, meski dia masih menatap Ian dengan sedikit ragu-ragu.

“Belum, kamu baru selesai makan?”, Ian memperhatikan remah-remah makanan di tepi piring Eva.

“Aku buatkan sop bening dan nugget, tadi aku pakai bahan makanan yang ada di lemari es”, Eva mengangkat tudung makanan yang ada di atas meja makan. Semangkuk besar sop sayuran dan beberapa potong nugget tersaji dibaliknya.

“Wah! Spesial nih!”, Ian tersenyum sambil duduk di hadapan Eva. Ian mengambil nasi dan mulai menyendoki sop serta mengambil dua potong nugget. Setelah itu, Ian memandang tajam ke arah Eva.

“Kenapa?”, tanya Eva heran.

“Nggak keberatan kalau aku minta kamu makan sop dan sepotong nugget di depanku kan?”, ujar Ian sambil menatap mata Eva.

Sejenak Eva tampak bingung, sebelum kemudian dia mengerti apa yang dimaksud Ian, Ian memintanya menguji apakah makanan yang dimasaknya mengandung racun atau tidak. Dengan sedikit kesal Eva menyendok sop dan memakannya, lalu mengambil sepotong nugget dan memakannya.

“sudah!”, ujar Eva dengan nada kesal. “nggak ada racun di dalamnya. Aku nggak pengen bunuh diri kok!”.

Ian tersenyum pelan, “maaf, sudah kewajibanku untuk waspada, bahkan terhadap orang-orang dekatku sekalipun. Harap maklum”, Ian menjelaskan sambil mulai menyendok makanannya. Eva masih terlihat cemberut.

“Jadi… ada tugas baru?”, tanya Eva saat Ian mulai asyik dengan makanannya. Ian menghentikan sejenak makannya dan mengangguk. Ian makan dengan sangat lahap, selama ini, jika dia sedang sibuk dengan Case dia hanya makan makanan instant. Memakan makanan yang dimasak orang lain adalah sesuatu yang jarang dia lakukan. Dan kali ini dia harus mengakui, Eva sangat pintar memasak.

Tiba-tiba Ian tersentak, raut wajahnya berubah seketika. Lalu mengeluarkan sesuatu berwarna kuning yang sempat dikunyahnya. Ian memandang benda itu, LENGKUAS!. Dia baru saja mengunyah lengkuas, dan rasanya tidak enak!. Ian buru-buru menyambar segelas air di depan Eva. Melihat tingkah Ian, Eva tertawa lepas.

Seketika itu suasana menjadi cair. Selama Eva tinggal bersama Ian disini, baru kali itulah mereka sama-sama tertawa.

"Kok sop ada lengkuasnya?", tanya Ian. karena setahunya, Sop tidak menggunakan lengkuas sebagai bahan masakan.

"Kecemplung kayaknya", Eva menjelaskan dengan wajah tanpa dosa. “Enak?”, goda Eva. Ian mencibir, Eva tertawa sekali lagi.

*_*_*

“Kenyaaang…”, Ian mengelus perutnya setelah menghabiskan dua porsi manusia biasa. Eva tersenyum geli melihat ekspresi pada wajah Ian.

“Mungkin aku akan pergi untuk beberapa lama, menyelesaikan tugas. Sebelum itu tolong buatkan daftar bahan makanan yang kamu mau, jadi aku bisa menyiapkannya untukmu”, Ian berkata sambil mulai membakar rokoknya.

“Berapa hari?”, Eva bertanya seraya menjulurkan tangannya, membereskan piring Ian.

“Entahlah, sebulan mungkin. Atau lebih”, asap keluar dari bibir Ian.

Eva terdiam sejenak, memandang kosong ke garis-garis yang di bentuk oleh kepulan asap rokok yang dihisap oleh Ian. “Aku…”, Eva berhenti, seolah ragu atas apa yang akan diucapkannya.

“kenapa?”, Ian bertanya menyelidik. Saat ini, entah mengapa Ian tidak merasakan beban yang kemarin-kemarin dirasakannya ketika ada di dekat Eva. Alih-alih beban, kini dia malah merasa sangat nyaman, seolah berada di rumah sendiri (meski memang di rumah sendiri).

“apa aku tidak bisa… ikut?”, setelah sempat ragu akhirnya Eva mengutarakan maksudnya. “maksudku, apa aku tidak bisa berguna, membantu membawakan barang atau…”, ucapannya terhenti saat ia menyadari Ian tengah menatap tajam padanya.

“kamu tahu apa yang jadi tugasku, bukan?”, mimik wajah Ian kini terlihat serius.

“membunuh seseorang kan?, orang yang jahat?”, Eva menjawab. Dia sempat membaca beberapa kliping berita tentang Silent Rose yang tersimpan di saku samping lemari es saat mencari pembuka botol. Silent Rose hanya membunuh orang-orang yang jahat.

Jawaban Eva membuat Ian tersenyum. “tidak semudah itu, nona cantik”, kata ‘cantik’ yang diucapkan Ian membuat Eva sempat tersipu. “Aku harus membuat rencana, memperhitungkan probabilitas dan variabel-variabel yang bisa menyebabkan terganggunya sebuah rencana, mempersiapkan manuver-manuver jika rencana utama tidak dapat dilakukan, dan mempersiapkan semua pendukung untuk melaksanakan rencana itu. Yang terakhir, aku harus memastikan rencana berjalan baik”.

Eva terdiam, berpikir tentang apa yang dikatakan Ian. “Tidak adakah cara agar aku bisa masuk sebagai bagian dari rencana itu?”.

Kali ini giliran Ian yang terdiam. Otaknya bekerja sangat cepat mencari kemungkinan menjadikan Eva sebagai bagian dari rencana yang dia susun untuk Case kali ini. Memang, harus diakui, selama ini yang menjadi target dari Silent Rose adalah laki-laki, dan keberadaan seorang heroine, sangat membantu dalam menyelesaikan sebuah Case.

“Jika aku bisa memasukkanmu dalam rencanaku, apa kamu bisa bersikap penuh totalitas dalam menjalankan peranmu?”, tanya Ian.

“Aku harus bisa”, Eva berkata sambil mengangguk yakin.

“Kamu tahu resikonya?, aku mungkin tidak akan ada untuk menolongmu seperti yang terjadi tempo hari. Apalagi jika itu dapat merusak rencana”, Ian mencoba memberi tekanan pada kalimat ‘menolongmu lagi’.

“Ya”, Eva mengangguk lagi.

“Apa kamu bersedia tidur dengan beberapa laki-laki demi berjalannya rencana?”.

Kali ini Eva terdiam. “Maksudnya?”.

“seks, jika itu diperlukan dalam rencana, apa kamu sanggup melakukan hubungan seks dengan pria yang tidak kamu kenal?, bahkan mungkin dengan banyak orang sekaligus?, atau saat mereka memaksamu melakukan hal yang belum pernah kamu lakukan sebelumnya?”.

Eva masih terdiam, kali ini lebih lama.

“Ya…”, nada suara Eva kali ini terdengar lebih lemah. “aku bersedia”.

“Pikirlah baik-baik dulu”, ujar Ian sambil beranjak dari kursinya. “Beritahu aku jawabanmu besok pagi, kalo memang kamu siap, besok siang kita akan berangkat”, ujarnya sambil meninggalkan ruang makan.

*_*_*

Pelabuhan Belawan, beberapa jam sebelum keberangkatan Eddy Arya ke Pulau Iyu Kecil.

Angin laut bertiup hanya sesekali di dermaga siang itu, aktivitas pelabuhan masih terlihat normal, beberapa awak kapal terlihat asyik bercanda di kantin-kantin dan di dek kapal mereka masing-masing. Sebuah SUV berwarna hitam masuk ke dermaga dan berhenti tepat di sebuah kapal yacht berwarna biru dengan logo FONDO-corp di lambung kapalnya. Seorang laki-laki turun dari kapal, membukakan pintu untuk penumpang mobil tersebut. Eddy Arya, pemilik salah satu perusahaan industri makanan di Indonesia turun dari mobil dengan menggandeng seorang gadis muda yang dibalut dengan pakaian biasa. Eddy mengusap dahinya yang botak dengan sapu tangannya, memandang sebentar ke arah matahari yang tengah bersinar terik lewat kacamata hitamnya.

“Maaf Bos, gadis itu?”, ujar laki-laki berambut cepak yang mengenakan jas hitam.

“dia keponakan Tohir, tadi aku sempat mampir untuk menagih hutang, dan dia malah memberikan keponakannya sendiri untuk melunasi sebagian hutangnya. Hahahaha…”, Eddy tertawa dengan lebar. “Kau bantu Alan angkat barangku di mobil, Budi”, ujarnya lagi. Laki-laki berambut cepak yang dipanggil Budi segera beranjak ke mobil.

Alan, pria tua berbadan kekar, mengangkat beberapa peti sekaligus, menunjukkan kekuatan ototnya. Sedang, Budi malah bergerak menjauh dari mobil.
“Kemana? Hey? Bud?”, Alan berteriak.

“Aaah… kau urus sajalah barang-barang itu, aku mau melemaskan ototku dulu”, ujar Budi sambil memutar-mutar lengannya seperti orang yang tengah melakukan peregangan otot.

Dua pria itu adalah bodyguard pribadi Eddy Arya, dari beberapa bodyguard miliknya, Alan dan Budi adalah yang paling tangguh. Budi menguasai tae kwon do dengan fasih, sedang Alan adalah seorang karateka yang tangguh. Mereka berdua, dibawa oleh Eddy Arya untuk ikut sebagai petarung dalam sebuah even tahunan yang diadakan secara ilegal oleh keluarga Fondo di Pulau Iyu Kecil, tempat peristirahatan keluarga Fondo. Sebagai relasi kental, Eddy Arya juga turut diundang.

Budi berbeda dengan Alan, Budi cenderung mencari masalah, baginya, pamer kekuatan itu wajib. Dia senang sekali mencari perkelahian tanpa sebab yang pasti, hanya untuk melatih sekaligus pamer kemampuan bertarungnya. Berbeda dengan Alan yang lebih suka tidak mencari masalah.

Itulah yang dilakukan Budi saat ini, sedari tadi dia memperhatikan beberapa pemuda awak sebuah kapal pencari ikan yang sedang nongkrong di dekat kapal yacht biru milik keluarga Fondo bersandar. Kini Budi tengah mendekati para awak itu, dan tanpa berkata apa-apa mendaratkan satu tendangan keras ke tulang rusuk salah seorang dari mereka, membuat orang yang ditendang terlempar jatuh ke air.

“Apa-apaan ini?”, sergah salah seorang dari kumpulan pemuda itu. Mereka semua serentak berdiri, total ada lima orang, dua diantaranya sibuk membantu rekannya yang tercebur ke laut.

“Apanya yang apa-apaan?”, Budi merentangkan tangannya sambil berseringai lebar. “Aku tidak suka lihat pemuda-pemuda loyo seperti kalian ada disini! Pergi atau kuhajar!”, tantangnya dengan angkuh.

“Anjing!”, salah seorang dari mereka maju sambil mengayunkan tinju namun terlambat, kaki Budi lebih dulu menyentuh tulang rusuknya dan membuatnya terlempar ke laut, seperti rekan sebelumnya.

“Siapa lagi, Hah?!”, ujar Budi sombong, seringainya makin lebar dan mengerikan. Satu dari dua pemuda yang tersisa bergerak mundur.

“Kalian semua pergilah kembali ke kapal”, ujar salah satu dari mereka. Pemuda itu maju, menjaga jarak dengan Budi dan mengambil kuda-kuda tempur.

“Hoo… ada yang bisa bela diri juga rupanya”, ejek Budi sambil memasang kuda-kuda. “dari aliran apa kau? Karate? Tae kwon do?”, tanyanya. Pemuda itu hanya diam tanpa merubah ekspresinya.

Dengan cepat pemuda itu bergerak maju selangkah, Budi mengayunkan kakinya dengan sangat cepat, tapi pemuda itu sudah mengantisipasinya dengan sebuah tangkisan dari lengan bagian dalam. Melihat tendangannya gagal, Budi meloncat ke belakang untuk mempersiapkan serangan selanjutnya. Saat itulah sang pemuda meloncat dan menghantamkan sikunya ke kaki kanan Budi yang belum sempat ditarik. Budi sempat kehilangan keseimbangan, namun dengan tangkas diantisipasinya, dalam Tae Kwon Do, kehilangan keseimbangan dan jatuh adalah hal yang sangat fatal.

Pemuda itu tidak bicara sepatah katapun, tidak juga menunggu. Dengan loncatan kecil, pemuda itu berhasil membuat jarak antara dia dan Budi semakin sempit. Tidak berada dalam jangkauan maksimal kaki memberikan keunggulan bagi pemuda itu. Budi menekuk kakinya untuk menghantamkan lutut ke pinggang pemuda itu, namun sebelum sempat serangan Budi mendarat, pemuda itu sudah lebih dulu menjatuhkan tinju ke paha bagian dalamnya, membuat serangan Budi tertahan beberapa detik karena nyeri.

Detik berikutnya, sang pemuda mengayunkan sikut kanannya, tepat mengenai pelipis kiri Budi, darah mulai mengalir dari pelipis kiri Budi. Budi sedikit terhuyung ke belakang.

“Bangsat!”, emosi Budi meningkat, sebuah nilai minus dalam pertarungan. Saat terpancing dengan emosi, petarung cenderung akan mengendurkan pertahanannya. Dan itulah yang terjadi.

Serangan berikutnya dari Budi terkesan terburu-buru, dan menjadi bumerang baginya, dua tendangan tinggi yang dilepaskan secara beruntun dari kaki kanan dan kiri berhasil ditangkis dengan sempurna oleh pemuda itu. Kali ini, keseimbangan Budi benar-benar rusak. Tanpa banyak bicara, sang pemuda memanfaatkan situasi dengan baik, sebuah tinju mengarah tepat ke ulu hati Budi, membuatnya badannya sedikit merunduk.

Dan tanpa memberi jeda, pemuda itu mengayunkan lututnya, tepat mengenai hidung Budi sekaligus mematahkannya. Budi terlempar jatuh dengan punggung menghantam keras lantai beton. Belum sempat Budi mengaduh, sebuah injakan keras terasa di perutnya, dan beberapa tinju mendarat beruntun ke kepalanya.

“Hei!”, sebuah suara menarik perhatian mereka. Alan, dengan badan kekarnya berlari ke arah mereka. merasa adanya bahaya, pemuda itu menarik diri dari atas tubuh Budi yang babak belur. “Kurang ajar! Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berurusan!”. Alan memasang kuda-kuda tempur, meski dia tahu Budi yang memulai semua ini, dia merasa tetap punya kewajiban membela rekannya.

Pemuda itu memasang kuda-kudanya kembali setelah memberi isyarat agar teman-temannya lari. Lima pemuda yang lain segera kabur.
Alan memulai pertarungan dengan maju menerjang, raut wajahnya terlihat tenang, bukan lawan yang mudah terpancing emosi. Tinju beratnya nyaris saja mendarat di tubuh sang pemuda. Untungnya, reflek pemuda itu cukup bagus, dia berhasil mengelak dari tinju yang punya kemampuan mencopot tulang lengan dari sendinya itu.

Pemuda itu mundur dua langkah menyadari Alan bukan tipe petarung yang lebih mengandalkan kaki seperti Budi. Petarung tua kekar itu terlihat sangat tenang, yang artinya serangannya lebih metodikal dan terencana. Pemuda itu meningkatkan tingkat kewaspadaannya.

Serangan berikutnya dari Alan terlihat sangat rumit, dua pukulan beruntun yang cepat membuat sang pemuda harus mengambil resiko dengan menangkis, membuat jarak diantara mereka semakin dekat. Dalam diam, dengan cepat dan cermat Alan menggerakkan kaki kanannya ke belakang, sebagai ancang-ancang untuk melakukan tendangan lutut ke arah perut sang pemuda.

Beruntung sekali, dalam sepersekian detik, pemuda itu mampu menangkap adanya pergerakan di kaki kanan Alan, dengan cepat pemuda itu mengambil langkah paling ekstrim ; memeluk Alan.

Alan terkejut dengan gerakan sang pemuda, kali ini tidak ada jarak diantara mereka, dan itu artinya tendangan lututnya tak bisa diluncurkan. Lebih kaget lagi saat tanpa bicara sepatah katapun, sang pemuda menghantamkan satu-satunya yang bisa dijadikan senjata dalam jarak sedekat itu ; kepala.

Alan terhuyung mundur memegangi hidungnya yang patah, akibat hantaman kepala dari sang pemuda, di lain sisi, sang pemuda juga terhuyung mundur, darah mulai mengalir segaris dari keningnya.

“Alan! Budi! Apa-apaan ini!!”, bentakan Eddy Arya menghentikan pertarungan mereka. Eddy mendekat ke arah mereka, mengalihkan pandangannya ke Budi yang babak belur dan sedang tertatih-tatih berusaha untuk berdiri. Eddy mengalihkan lagi pandangannya ke Alan dan sang pemuda yang kembali dalam posisi kuda-kuda. Darah segar mengucur dari hidung Alan, sedang di sisi lain, segaris darah mengalir dari dahi sang pemuda.

“Cukup! Alan!”, perintah Eddy kepada Alan. Eddy mendekat dan memperhatikan pemuda yang kini telah bertarung dengan dua bodyguard terbaiknya. “Kau!”, serunya pada sang pemuda. “Siapa namamu?”.

Pemuda itu melonggarkan kuda-kudanya, namun tetap diam dan memutuskan untuk tidak menjawab.

“Kau awak kapal?”, Eddy sekali lagi bertanya.

“Ya”, jawab pemuda itu dingin.

“Ha!, lupakan kapal dan kapten atau pada siapapun kamu bekerja! Mulai sekarang kau bekerja untuk Eddy Arya!”, kata-kata Eddy membuat Alan dan Budi sedikit terkejut. Meski terkejut, Budi dan Alan tidak berani berkomentar. Dulu, Budi juga mulai bekerja dengan Eddy setelah Budi melumpuhkan lima satpam yang menjaga kantor milik Eddy. Sedang Alan, Eddy menariknya setelah Alan membuat dua puluh sipir penjara sekarat.

“bagaimana kalau aku menolak?”, ucap pemuda itu datar.

“Hahahaha….”, Eddy tertawa keras. “sepertinya aku mulai menyukaimu. Kau boleh saja menolak, itu hakmu. Sekarang, kalau kau memang menolak, mari kita lihat apakah kau lebih cepat dari peluruku”.

Eddy mengarahkan moncong pistol Walther PPK-L buatan Jerman ke arah pemuda itu. Pemuda itu diam, sadar bahwa dia tidak punya pilihan lain.

“Sekarang katakan namamu”, ucap Eddy sambil menjabat tangan sang pemuda.

“Dimas Mahardian, panggil saja Ian”, jawab pemuda itu.

*_*_*

“Hey! Anak baru! Ian!”, Eddy memanggil, Ian menunjukkan ekspresi terkejut saat namanya disebut. Dengan raut bingung dia menatap mata Eddy yang tengah menikmati kuluman dan hisapan Eva di batang kejantanannya. “Masukkan kontolmu ke cewek ini, hamili dia!. Anggap saja ini ucapan terima kasih karena kau telah mau bergabung dengan kami!”.

Ian tidak bergeming, hanya menatap Eva yang kini telanjang bulat, menaik-turunkan kepalanya, mengocok penis Pak Tua Eddy dengan mulutnya. Alan yang berdiri di sebelah kanannya menyenggol bahunya. Membuat Ian tersadar dan bergerak mendekati Eva.

“Bangsat, enak benar kau”, umpat Budi sebal sambil menekuk wajahnya yang tadi dibuat babak belur oleh Ian.

“merangkak dan angkat pantatmu, cantik, kontol keduamu mau masuk”, perintah Eddy pada Eva. Eva bergerak mengangkat pinggulnya, mengikuti tarikan tangan Ian. Dalam hati, Eva bersyukur pria kedua yang akan menyetubuhinya bukan pria yang sama sekali tidak dia kenal, setidaknya itu sedikit memudahkannya dalam melaksanakan perannya.

Ian bukan perjaka, dia pernah melakukan seks dalam satu malam yang hebat dengan Cheerfull Jasmine. Ian juga mengerti beberapa teknik, tapi melakukan di hadapan orang lain?, jika saja dia tidak melatih mentalnya mungkin dia sudah memilih untuk membunuh semua orang kecuali Eva yang ada di kapal ini. Ian menurunkan resleting celananya dan mengeluarkan batang kejantanannya yang memang sudah tegang.

“Hoo… dari ekspresimu, hampir saja kupikir kau Gay, Ian”, ledek Eddy melihat penis Ian yang menegang.

Ian menarik pinggul ramping Eva sedikit ke atas, pantat bulat kencang dan mulus Eva terlihat begitu merangsang, Ian menggunakan tangan kanannya untuk mengarahkan penisnya ke lubang kenikmatan gadis cantik itu. Eva mendesis nikmat saat penis Ian menggesek pelan bibir kewanitaannya.

“nghh… ehh…”, desahan lirih Eva tertahan oleh penis Eddy yang mulai tegang di dalam mulutnya saat batang kejantanan Ian menyeruak masuk ke dalam rongga kewanitaannya. Ian melenguh merasakan gesekan penisnya dengan dinding-dinding vagina Eva. Kenikmatan jelas terasa dari raut wajah keduanya.

Ian menggerakkan penisnya pelan tapi pasti, sedikit-demi sedikit hingga masuk seutuhnya ke liang sempit milik gadis cantik itu. Eva merasakan lubangnya terisi penuh oleh kehangatan yang menjalar dari penis Ian. Penis Ian terasa lebih besar dari milik mantan kekasihnya dulu. Eva sejenak lupa terhadap penis lain yang ada di dalam mulutnya. Eddy membiarkan Eva menikmati penetrasi yang dilakukan oleh Ian.

Eva kembali mengulum penis Eddy, sambil merintih-merintih tertahan menikmati kocokan lembut penis Ian di vaginanya. Ian memegang pinggul Eva, membuat badan Eva sedikit terdorong, hal itu membuat kocokan mulut Eva di penis Eddy makin terasa nikmat. Eddy memejamkan mata dan mulai melenguh keenakan, penisnya telah bangkit total dalam mulut Eva.

Lenguhan ketiga orang itu kini semakin terdengar memenuhi ruangan. Alan memandang lekat ke live show yang terjadi di hadapannya. Sedang raut wajah Budi terlihat iri dengan apa yang didapatkan oleh Ian.

“Owhhh… mantapppp….”, si tua Eddy melenguh sambil menahan kepala Eva, untuk kedua kalinya, dia menumpahkan spermanya ke dalam mulut Eva. Ian menghentikan aktifitasnya sejenak untuk memberi kesempatan pada Sang Bos menikmati ejakulasi keduanya. Tidak lama kemudian, Eddy mencabut penisnya dari mulut Eva.

“Selesaikan Boy, hajar cewek cantik ini dari belakang dengan kencang”, perintah Eddy pada Ian.

Eva sempat menoleh saat dia meletakkan kedua sikunya ke sofa sebagai tumpuan, Ian menatap mata Eva yang terlihat sayu. Eva tersenyum dan mengangguk, seolah memberi tanda bahwa ia juga menikmati persetubuhan ini.

“aahh,,,”, Eva memalingkan wajahnya ke depan dan melenguh saat batang kejantanan Ian kembali bergerak dalam kemaluannya. Kali ini gerakan Ian lebih kencang, tegas dan cepat, sesuai yang diperintahkan Eddy pada Ian.

Mata Eva terpejam, tubuh telanjangnya bergerak maju mundur mengikuti Ian yang tengah menggenjotnya kencang, Eva tidak hanya merintih, ia kini setengah menjerit, menjerit penuh kenikmatan. Di belakangnya, Ian juga mendesah tertahan sambil matanya menelusuri rambut, leher, punggung, pinggang hingga pantat seksi gadis yang kini menjadi selongsong bagi penisnya.

Mereka terlibat sebuah seks yang panas, Ian meremas kedua buah dada Eva yang menggantung naik turun, nafasnya memburu. Di sisi lain, Eva merasakan sebuah kenikmatan yang membuatnya merintih, gerakan Ian semakin cepat, dan ia merasa tiap tusukan penis Ian membuatnya akan meledak.
“Ahhhhh!!!!....”, Eva menjerit, tubuhnya mengejang, Ian mengangkat perut Eva, dan membungkam bibir Eva dengan ciumannya. Di tengah orgasme yang dirasakannya, Eva dengan ganas membalas kuluman bibir dan lidah Ian. Setelah beberapa lama, Eva tampak lemas.

“Bravo… bravo….”, Eddy bertepuk tangan. “pertunjukan seks yang luar biasa, kau belum selesai kan Boy?. Giliranmu menyelesaikan hasrat, hamili gadis itu”.

Ian mengangguk tanpa bicara, lalu kembali menggenjot tubuh Eva yang bersimbah keringat, kulit mulusnya tampak berkilau dan lemas. Eva hanya mendesah-desah pasrah saat Ian makin kencang menggenjot tubuhnya.

“Kalian, pake mulutnya, gantian”, perintah Eddy pada Alan dan Budi. Tanpa disuruh dua kali, Budi maju dan membuka resletingnya, Eva yang masih lemas hanya bisa pasrah saat Budi menjejalkan penisnya ke mulut dengan kasar.

“Anjing!!”, baru beberapa menit menikmati kocokan mulut Eva di penisnya, Budi sudah menggeram dan menyemprotkan isi kantungnya di mulut Eva. Ian masih belum ejakulasi, dia masih menyetubuhi Eva dengan kencang.

Alan bergerak dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Budi pada Eva. Namun lebih lembut dan terlihat berpengalaman. Genjotan Ian semakin kencang hingga akhirnya, Ian menyerah, jepitan dinding vagina Eva terlalu nikmat. Ian membenamkan penisnya dalam-dalam, membuat Eva terdorong sehingga penis Alan makin dalam masuk ke mulutnya.

“Arghh…”, geram Ian sambil melepaskan spermanya ke dalam rahim Eva. Eva sendiri mengalami orgasme kecil saat cairan-cairan kental Ian terasa hangat membentur dinding rahimnya.

Ian mendiamkan penisnya sebentar sebelum akhirnya mencabutnya. Eva hanya pasrah saat Alan membalik badannya hingga terlentang lalu mengarahkan penisnya ke mulut Eva dan mulai memompanya.

Budi mendekat ke tubuh telanjang eva yang tengah mengulum batang kejantanan Alan, Budi meremas payudara padat milik Eva sambil mengocok penisnya yang masih lemas. Budi menempatkan diri di antara kedua paha Eva dan menggesekkan penisnya ke belahan vagina Eva.

Beberapa menit kemudian Alan menggeram dan menumpahkan spermanya ke mulut Eva, Eva terpaksa menelannya. Usai menuntaskan hajatnya, Alan menarik diri dan mengenakan kembali celananya. Saat itulah penis Budi sudah cukup ereksi untuk melakukan penetrasi, Eva hanya pasrah saat kepala penis Budi menyeruak masuk ke liang kewanitaannya.

DORR!!.

Darah merah segar berhamburan dari kepala Budi saat sebuah peluru bersarang di otaknya. Eva memekik saat tubuh Budi ambruk ke sampingnya. Eva beranjak dan berusaha lari, namun sebelum Eva sempat keluar dari ruangan itu, Ian menahannya.

Ujung pistol Walther PPK-L di tangan Eddy Arya masih mengeluarkan asap, pistol itulah yang baru saja meluncurkan sebutir peluru yang kini bersarang di kepala Budi.

“Aku tidak ingat pernah mengijinkannya memasukkan kontolnya ke memek”, ujar Edy santai sambil mengusap pistol kesayangannya. “Gadis itu milikmu malam ini Ian, anggap saja hadiah”. Ujarnya sambil memberi isyarat agar semua meninggalkan ruangan.

*_*_*

(Bersambung ke Case 03 Bag. 03)

Comments

Popular Post