Case 03 : Bag 03
Gerak kapal yacht itu terasa sangat lambat membelah lalutan, Ian
memandang Eva yang terlelap di sampingnya. Wajahnya terlihat damai dan
letih, Ian menaikkan selimut, menutupi bahu telanjang Eva yang mulai
menggigil kedinginan. Perlahan dibelainya rambut gadis cantik yang kini
jadi partner dalam Case kali ini. Sejenak Ian memandangnya sayu, lalu
tersenyum tanpa kata-kata.
“Good job”, bisik Ian lirih sambil mengecup kening gadis cantik itu.
Angin laut terasa kencang, bintang terlihat berserakan indah di atas langit malam itu. Ian mengenakan jaketnya dan berjalan ke atas geladak. Langkahnya sedikit terhenti saat dia melihat si tua kekar, Alan, sedang menghisap rokoknya sambil memandang kosong ke laut lepas.
“Sudah selesai dengan hadiahmu, anak baru?”, suara berat Alan terdengar di sela-sela deru angin dan mesin yang berpacu. Ian mendekat dan menggeleng.
“Aku masih cukup lelah”, jawab Ian dengan nada datar.
“kita belum berkenalan secara resmi”, Alan menyodorkan tangannya untuk berjabat. “Alan”.
“Ian”, ekspresi wajah Ian tidak berubah saat ia menjabat tangan kekar Alan.
“Inovasi gaya bertarungmu bagus”, Alan menunjuk ke luka di dahinya. “Kepalaku masih terasa pening. Kau menerapkan latihanmu dengan sangat baik, aku saja hampir lupa kalau bertarung dengan gaya yang mengejutkan itu bisa sangat efektif”.
Ian menatap dalam-dalam ke arah wajah tua Alan yang masih terlihat sangar. Kalimat terakhir Alan cukup janggal dan tidak diduganya.
“Kau?...”. Ian tidak meneruskan kalimatnya.
“Terima kasih sudah menjawab panggilanku, Ayahmu pasti bangga denganmu”, Alan menjawab semua pertanyaan yang bahkan belum sempat dilontarkan oleh Ian. “Lazy Franginpani, tapi panggil saja Alan”, ujarnya sambil melemparkan sisa rokoknya ke laut.
Kini Ian terlihat sedikit terkejut. Orang tua kekar yang ada di hadapannya ternyata adalah Lazy Franginpani, agen yang menjadi alasannya mengambil case kali ini. Tadinya Ian mengira Lazy Franginpani sebagai orang yang lebih elegan, seperti sosok Ayahnya dulu. Namun ternyata tidak, Lazy lebih terlihat sebagai agen kasar dengan otot-otot kekarnya.
“Apa yang dijanjikan oleh Ayahku?”, tanpa ragu Ian bertanya, suaranya terdengar pelan sambil memastikan tidak ada yang bisa mendengar mereka.
“Dua belas tahun lamanya aku melacak targetku. Bukan target yang mudah untuk di lacak, bahkan agen luar biasa seperti Wise Crowpun sedikit kewalahan melakukan itu. Di tengah kebingungan itu aku bertemu dengan Ayahmu, Silent Rose”, Alan berhenti, melayangkan pandangannya ke lautan yang gelap.
Ian menyimak cerita itu dengan seksama, seolah tidak mau melewatkan satu detailpun dari apa yang akan diceritakan oleh Alan.
“Ayahmu menemukanku, entah bagaimana caranya dia bisa menemukanku, yang jelas bukan dari Wise Crow. Dia lalu menawarkan sebuah kerja sama yang mengejutkan. Ada sesuatu yang dia cari, aku tidak tahu, dia tidak memberitahuku. Yang jelas, ada informasi penting yang disimpan oleh Noisy Cannary, sesuatu yang bisa menghancurkan Association, dan kurasa ada kaitannya dengan Ayahmu”.
“Noisy Cannary?”, Ian mengulang codename yang disebutkan oleh Alan. Kata sifat diikuti dengan nama burung adalah codename untuk agen tipe B, spesialis strategi dan informasi.
“Target dari case yang kuambil adalah Noisy Cannary, agen tipe B Association. Dia membocorkan beberapa rahasia penting kepada seseorang bernama Markus, salah satu pejabat penting yang pernah ada di Indonesia. Markus telah dihabisi oleh Silent Rose, Ayahmu. Dan aku kebagian tugas untuk melenyapkan Noisy Cannary”.
“Dan kau butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan misi itu?”, nada Ian sedikit terdengar menyindir.
“Aku tidak seperti kalian yang bisa dengan cepat dan terlalu bergantung pada fasilitas yang disediakan oleh Wise Crow dan Association. Aku lebih memilih mendalami peranku, masuk lebih dalam dan lama agar bisa membaca situasi. Lagipula, melacak seorang agen tidak semudah mengejar wanita kesepian”, Alan mempertahankan nadanya agar tetap tenang. Kemampuan psikologisnya menunjukkan jam terbang yang sudah cukup tinggi, Ian sedikit kagum, dia tidak mungkin bisa setenang itu setelah menerima sindiran yang cukup mengena seperti yang baru saja ia lontarkan.
Sekilas Ian teringat pada sosok Wise Crow, dia sama tenangnya dengan Alan. Namun entah mengapa, Lazy Franginpani tidak terlihat menyebalkan seperti Wise Crow. Mungkin karena Alan tidak menunjukkan pandangan yang berusaha membaca pikirannya.
“Noisy Cannary, dia berjaga sebagai kepala pengawas di hutan milik Samuel Fondo. Berlindung di balik penjagaan ketat yang digunakan oleh Fondo. Aku tidak bisa menembus penjagaan itu sendiri, lain cerita jika ada Agen tipe A yang membantuku”, Alan melanjutkan kalimatnya.
“Aku tidak kesini dalam rangka liburan atau hanya untuk membantumu”, Ian mencoba menjelaskan alasan dia ke tempat itu.
“Oh! Luar biasa!”, tangan kekar Alan menepuk pundak Ian. “bergerak kemari dengan case sebagai cover!, itu luar biasa Ian!. Kau lebih cerdas dari Ayahmu!”.
“Wise Crow yang memberikanku Case”.
Mendengar nama Wise Crow membuat Alan terdiam. Matanya memandang tajam ke arah Ian sebelum kembali terlihat normal beberapa detik kemudian.
“Jadi dia tahu tentang Noisy Cannary”, ujarnya lirih.
“Apa dia tak boleh tahu?, ada apa sebenarnya?”.
“Aku juga tidak tahu. Silent Rose – Ayahmu – memintaku untuk merahasiakan kerjasama ini dari Wise Crow”.
“Dia tidak tahu tentang kerjasama kita”.
Alan tersenyum sinis. “Dia bukan orang bodoh, Rose, dia pasti menduga sesuatu. Aku juga tidak tahu kenapa Ayahmu memintaku merahasiakan dari Wise Crow. Ayahmu tidak memperbolehkanku bertanya banyak. Dia benar-benar silent”.
“Kerjasama yang kau maksudkan itu”, Ian mencoba membuka inti dari pembicaraan sesungguhnya. “Apa yang ditawarkan Ayahku?”.
“Membantu menghabisi Noisy Cannary”.
“Dan yang didapatkan oleh Ayahku?”.
“Informasi, dia akan menanyakan sesuatu kepada Noisy Cannary, beberapa saat sebelum menghabisinya”.
Beberapa pertanyaan telah terjawab, meninggalkan lebih banyak lagi pertanyaan baru. Namun Ian tahu, tidak akan ada gunanya bertanya lebih lanjut. Jawaban dari semua pertanyaannya hanya akan muncul saat dia berhadapan langsung dengan Noisy Cannary. Rasanya, ada sesuatu yang akan menuntunnya lebih dekat ke sosok Ayahnya, sosok misteri akan kematian Ayahnya. Dan jawaban atas e-mail terakhir Ayahnya tujuh tahun silam. Beberapa hari sebelum kematian sang Ayah.
“Aku akan menyelesaikan case ku dulu, sebelum menuntaskan kerjasama antara kau dan Silent Rose. Dan aku butuh beberapa informasi, kau sudah beberapa kali ikut dalam turnamen konyol keluarga Fondo, beritahu aku apa yang bisa kau beritahu tentang itu”.
Ombak dan malam menjadi saksi saat Lazy Franginpani mulai membuka pembicaraan mengenai informasi yang dibutuhkan oleh Silent Rose, demi kelancaran Case dan kerjasama lama kedua agen ini.
Beberapa pria bersetelan jas hitam dan kacamata hitam terlihat berjaga di dermaga Pulau Iyu kecil yang menjadi tempat peristirahatan bagi keluarga Fondo. Yacht biru yang ditumpangi oleh Eddy Arya sampai dengan selamat disana. Ian, Alan dan Eva turun terlebih dahulu, beberapa pria menyambut mereka dengan tidak ramah, tanpa ekspresi tepatnya. Eddy Arya turun tidak lama kemudian.
“Maaf tuan Eddy”, ujar salah satu pria berjas hitam. “Apa anda mengirim beberapa paket ke pulau ini juga?”.
Eddy terdiam sejenak, berusaha mengingat. “Aku rasa tidak, tapi mungkin Alan melakukannya, dia yang kutugaskan untuk memberi beberapa hadiah untuk Fondo”, Eddy menoleh ke Alan.
“Ya Tuan, saya memang mengirimkan beberapa paket kemari sebagai hadiah untuk Tuan Fondo”, Alan berkata dengan sopan, suaranya yang berat selalu bisa menampilkan kharisma tersendiri bagi siapapun yang mendengarnya. “Harusnya paket itu sudah sampai di Pelabuhan Belawan”.
“Ya, tuan Alan, orang kami memang sudah menerimanya, tapi kami menunggu konfirmasi dari anda untuk mengirimkannya kesini”.
“Kirimkan saja, toh itu akan membuat Fondo senang”, Eddy Arya memberi perintah. Pria berjas hitam itu segera menghubungi rekannya untuk melakukan pengiriman.
“Sebaiknya kau memberi hadiah yang bagus kali ini”, bisik Eddy pada Alan. “Tadinya aku mau mempersembahkan gadis itu, seperti yang biasanya kita lakukan. Tapi sebuah tambahan hadiah sepertinya jauh lebih bagus”.
“Saya pastikan itu tuan”, Alan menimpali. “Tidak mudah menemukan satwa langka yang hampir punah ini. Saya menemukannya secara tidak sengaja di Lampung, beberapa bulan yang lalu”.
“Wow… satwa?, harimaukah?”, Eddy menunjukkan rasa penasarannya. Alan menggeleng.
“Ular”, Alan menjawab setengah berbisik. “Tuan Fondo penggemar reptil kan?, saya berhasil menangkap ular paling berbisa di kepulauan Sumatra, ular yang juga langka, Trimeresurus Sumatranus”.
“Kau membuatku ikut penasaran, Alan. Kerja yang bagus”, Eddy tersenyum puas lalu memalingkan wajahnya ke pria berjas hitam di hadapannya.
“Ada bangkai di kapal, tolong diurus dan bersihkan”, perintahnya kemudian.
Suara guyuran air terdengar dari luar kamar mandi kecil di kamar tamu itu, di dalamnya, Eva sedang membersihkan tubuhnya, menyabuni setiap lekuk tubuh indahnya. Eva memandang ke lantai keramik di bawahnya, diam sejenak, mencoba mengingat apa yang dipesankan Ian sebelum mereka meninggalkan kapal. Eva membawa misi khusus dari Silent Rose, butuh kesiapan mental untuk melaksanakan misi tersebut. Guyuran air hangat saja belum cukup untuk menenangkan gundahnya, namun setidaknya, itu dapat menenangkan pikirannya.
Tidak jauh dari rumah yang digunakan untuk menerima tamu terdapat sebuah rumah megah berlantai dua. Itulah rumah utama tempat Fondo tinggal, dikelilingi oleh laut di sisi utara, dan tebing-tebing terjal di sisi lainnya menjadikan rumah itu sangat terlindung. Ada sepetak jalan tanah di belakang rumah itu, jalan yang menghubungkan ke bagian belakang pulau. Di belakang pulau itulah Noisy Canary, target Lazy Franginpani bersembunyi sebagai kepala pengawas hutan.
Di salah satu sisi tebing yang cukup tinggi, dua orang pria sedang menatap ke arah jendela ruang kerja Fondo muda. Jendela yang selalu tertutup rapat. Suasana sekitar rumah itu terlihat lengang, tapi tidak bagi kedua pria yang memperhatikan dari jauh, mata kedua pria itu cukup terlatih untuk melihat gerakan-gerakan samar yang bersembunyi di balik temaramnya lampu sekitar rumah.
“Kau yakin akan melakukannya malam ini, Rose?”, Lazy Franginpani berbisik mendesis, seolah-olah semak belukar yang menyembunyikan sosok mereka dapat mendengar dan berteriak.
Ian tidak menjawab, masih sibuk mengatur beberapa perlengkapan senjatanya. “Penundaan tidak ada dalam rencanaku, Franginpani”, jawaban Ian singkat dan jelas. Menurutnya, sebuah rencana harus disusun sedemikian mungkin dengan meminimalkan adanya penundaan, bertolak belakang dengan metode Lazy Franginpani yang penuh dengan penundaan. Silent Rose lebih memilih menjemput ketimbang menunggu.
Ian memeriksa kembali posisi dan dudukan XM2010-ESR-nya tanpa banyak suara. Sesekali dia mencoba mengintip melalui extention binocular yang telah dimodifikasinya. Ian memutar senjatanya ke beberapa sudut sebelum tersenyum puas.
“Tidak ada waktu untuk istirahat, Franginpani. Terima kasih telah membantuku menurunkan perlengkapan yang cukup merepotkan ini. Segera setelah aku selesai, kita akan langsung berpindah ke titik tertinggi”, Ian menunjuk sebuah tebing yang merupakan tebing tertinggi di pulau itu. “Menurut perhitunganku, kita butuh waktu dua jam. Sebentar lagi pertunjukan akan dimulai, mungkin kau sudah melihatnya di kapal, tapi kalau berkenan, silakan melihat lagi”, ujarnya sambil menunjuk ke binocular senjatanya. Lazy Franginpani hanya menggeleng.
“Apa isi kotak kecil yang berat ini?”, Lazy bertanya sambil mengangkat kotak kecil yang dibawanya bersamaan dengan kotak senjata milik Silent Rose.
“Itu freezer kecil”, jawab Ian dingin. “Nanti juga kau tahu”.
(bersambung)
“Good job”, bisik Ian lirih sambil mengecup kening gadis cantik itu.
Angin laut terasa kencang, bintang terlihat berserakan indah di atas langit malam itu. Ian mengenakan jaketnya dan berjalan ke atas geladak. Langkahnya sedikit terhenti saat dia melihat si tua kekar, Alan, sedang menghisap rokoknya sambil memandang kosong ke laut lepas.
“Sudah selesai dengan hadiahmu, anak baru?”, suara berat Alan terdengar di sela-sela deru angin dan mesin yang berpacu. Ian mendekat dan menggeleng.
“Aku masih cukup lelah”, jawab Ian dengan nada datar.
“kita belum berkenalan secara resmi”, Alan menyodorkan tangannya untuk berjabat. “Alan”.
“Ian”, ekspresi wajah Ian tidak berubah saat ia menjabat tangan kekar Alan.
“Inovasi gaya bertarungmu bagus”, Alan menunjuk ke luka di dahinya. “Kepalaku masih terasa pening. Kau menerapkan latihanmu dengan sangat baik, aku saja hampir lupa kalau bertarung dengan gaya yang mengejutkan itu bisa sangat efektif”.
Ian menatap dalam-dalam ke arah wajah tua Alan yang masih terlihat sangar. Kalimat terakhir Alan cukup janggal dan tidak diduganya.
“Kau?...”. Ian tidak meneruskan kalimatnya.
“Terima kasih sudah menjawab panggilanku, Ayahmu pasti bangga denganmu”, Alan menjawab semua pertanyaan yang bahkan belum sempat dilontarkan oleh Ian. “Lazy Franginpani, tapi panggil saja Alan”, ujarnya sambil melemparkan sisa rokoknya ke laut.
Kini Ian terlihat sedikit terkejut. Orang tua kekar yang ada di hadapannya ternyata adalah Lazy Franginpani, agen yang menjadi alasannya mengambil case kali ini. Tadinya Ian mengira Lazy Franginpani sebagai orang yang lebih elegan, seperti sosok Ayahnya dulu. Namun ternyata tidak, Lazy lebih terlihat sebagai agen kasar dengan otot-otot kekarnya.
“Apa yang dijanjikan oleh Ayahku?”, tanpa ragu Ian bertanya, suaranya terdengar pelan sambil memastikan tidak ada yang bisa mendengar mereka.
“Dua belas tahun lamanya aku melacak targetku. Bukan target yang mudah untuk di lacak, bahkan agen luar biasa seperti Wise Crowpun sedikit kewalahan melakukan itu. Di tengah kebingungan itu aku bertemu dengan Ayahmu, Silent Rose”, Alan berhenti, melayangkan pandangannya ke lautan yang gelap.
Ian menyimak cerita itu dengan seksama, seolah tidak mau melewatkan satu detailpun dari apa yang akan diceritakan oleh Alan.
“Ayahmu menemukanku, entah bagaimana caranya dia bisa menemukanku, yang jelas bukan dari Wise Crow. Dia lalu menawarkan sebuah kerja sama yang mengejutkan. Ada sesuatu yang dia cari, aku tidak tahu, dia tidak memberitahuku. Yang jelas, ada informasi penting yang disimpan oleh Noisy Cannary, sesuatu yang bisa menghancurkan Association, dan kurasa ada kaitannya dengan Ayahmu”.
“Noisy Cannary?”, Ian mengulang codename yang disebutkan oleh Alan. Kata sifat diikuti dengan nama burung adalah codename untuk agen tipe B, spesialis strategi dan informasi.
“Target dari case yang kuambil adalah Noisy Cannary, agen tipe B Association. Dia membocorkan beberapa rahasia penting kepada seseorang bernama Markus, salah satu pejabat penting yang pernah ada di Indonesia. Markus telah dihabisi oleh Silent Rose, Ayahmu. Dan aku kebagian tugas untuk melenyapkan Noisy Cannary”.
“Dan kau butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan misi itu?”, nada Ian sedikit terdengar menyindir.
“Aku tidak seperti kalian yang bisa dengan cepat dan terlalu bergantung pada fasilitas yang disediakan oleh Wise Crow dan Association. Aku lebih memilih mendalami peranku, masuk lebih dalam dan lama agar bisa membaca situasi. Lagipula, melacak seorang agen tidak semudah mengejar wanita kesepian”, Alan mempertahankan nadanya agar tetap tenang. Kemampuan psikologisnya menunjukkan jam terbang yang sudah cukup tinggi, Ian sedikit kagum, dia tidak mungkin bisa setenang itu setelah menerima sindiran yang cukup mengena seperti yang baru saja ia lontarkan.
Sekilas Ian teringat pada sosok Wise Crow, dia sama tenangnya dengan Alan. Namun entah mengapa, Lazy Franginpani tidak terlihat menyebalkan seperti Wise Crow. Mungkin karena Alan tidak menunjukkan pandangan yang berusaha membaca pikirannya.
“Noisy Cannary, dia berjaga sebagai kepala pengawas di hutan milik Samuel Fondo. Berlindung di balik penjagaan ketat yang digunakan oleh Fondo. Aku tidak bisa menembus penjagaan itu sendiri, lain cerita jika ada Agen tipe A yang membantuku”, Alan melanjutkan kalimatnya.
“Aku tidak kesini dalam rangka liburan atau hanya untuk membantumu”, Ian mencoba menjelaskan alasan dia ke tempat itu.
“Oh! Luar biasa!”, tangan kekar Alan menepuk pundak Ian. “bergerak kemari dengan case sebagai cover!, itu luar biasa Ian!. Kau lebih cerdas dari Ayahmu!”.
“Wise Crow yang memberikanku Case”.
Mendengar nama Wise Crow membuat Alan terdiam. Matanya memandang tajam ke arah Ian sebelum kembali terlihat normal beberapa detik kemudian.
“Jadi dia tahu tentang Noisy Cannary”, ujarnya lirih.
“Apa dia tak boleh tahu?, ada apa sebenarnya?”.
“Aku juga tidak tahu. Silent Rose – Ayahmu – memintaku untuk merahasiakan kerjasama ini dari Wise Crow”.
“Dia tidak tahu tentang kerjasama kita”.
Alan tersenyum sinis. “Dia bukan orang bodoh, Rose, dia pasti menduga sesuatu. Aku juga tidak tahu kenapa Ayahmu memintaku merahasiakan dari Wise Crow. Ayahmu tidak memperbolehkanku bertanya banyak. Dia benar-benar silent”.
“Kerjasama yang kau maksudkan itu”, Ian mencoba membuka inti dari pembicaraan sesungguhnya. “Apa yang ditawarkan Ayahku?”.
“Membantu menghabisi Noisy Cannary”.
“Dan yang didapatkan oleh Ayahku?”.
“Informasi, dia akan menanyakan sesuatu kepada Noisy Cannary, beberapa saat sebelum menghabisinya”.
Beberapa pertanyaan telah terjawab, meninggalkan lebih banyak lagi pertanyaan baru. Namun Ian tahu, tidak akan ada gunanya bertanya lebih lanjut. Jawaban dari semua pertanyaannya hanya akan muncul saat dia berhadapan langsung dengan Noisy Cannary. Rasanya, ada sesuatu yang akan menuntunnya lebih dekat ke sosok Ayahnya, sosok misteri akan kematian Ayahnya. Dan jawaban atas e-mail terakhir Ayahnya tujuh tahun silam. Beberapa hari sebelum kematian sang Ayah.
“Aku akan menyelesaikan case ku dulu, sebelum menuntaskan kerjasama antara kau dan Silent Rose. Dan aku butuh beberapa informasi, kau sudah beberapa kali ikut dalam turnamen konyol keluarga Fondo, beritahu aku apa yang bisa kau beritahu tentang itu”.
Ombak dan malam menjadi saksi saat Lazy Franginpani mulai membuka pembicaraan mengenai informasi yang dibutuhkan oleh Silent Rose, demi kelancaran Case dan kerjasama lama kedua agen ini.
*_*_*
Beberapa pria bersetelan jas hitam dan kacamata hitam terlihat berjaga di dermaga Pulau Iyu kecil yang menjadi tempat peristirahatan bagi keluarga Fondo. Yacht biru yang ditumpangi oleh Eddy Arya sampai dengan selamat disana. Ian, Alan dan Eva turun terlebih dahulu, beberapa pria menyambut mereka dengan tidak ramah, tanpa ekspresi tepatnya. Eddy Arya turun tidak lama kemudian.
“Maaf tuan Eddy”, ujar salah satu pria berjas hitam. “Apa anda mengirim beberapa paket ke pulau ini juga?”.
Eddy terdiam sejenak, berusaha mengingat. “Aku rasa tidak, tapi mungkin Alan melakukannya, dia yang kutugaskan untuk memberi beberapa hadiah untuk Fondo”, Eddy menoleh ke Alan.
“Ya Tuan, saya memang mengirimkan beberapa paket kemari sebagai hadiah untuk Tuan Fondo”, Alan berkata dengan sopan, suaranya yang berat selalu bisa menampilkan kharisma tersendiri bagi siapapun yang mendengarnya. “Harusnya paket itu sudah sampai di Pelabuhan Belawan”.
“Ya, tuan Alan, orang kami memang sudah menerimanya, tapi kami menunggu konfirmasi dari anda untuk mengirimkannya kesini”.
“Kirimkan saja, toh itu akan membuat Fondo senang”, Eddy Arya memberi perintah. Pria berjas hitam itu segera menghubungi rekannya untuk melakukan pengiriman.
“Sebaiknya kau memberi hadiah yang bagus kali ini”, bisik Eddy pada Alan. “Tadinya aku mau mempersembahkan gadis itu, seperti yang biasanya kita lakukan. Tapi sebuah tambahan hadiah sepertinya jauh lebih bagus”.
“Saya pastikan itu tuan”, Alan menimpali. “Tidak mudah menemukan satwa langka yang hampir punah ini. Saya menemukannya secara tidak sengaja di Lampung, beberapa bulan yang lalu”.
“Wow… satwa?, harimaukah?”, Eddy menunjukkan rasa penasarannya. Alan menggeleng.
“Ular”, Alan menjawab setengah berbisik. “Tuan Fondo penggemar reptil kan?, saya berhasil menangkap ular paling berbisa di kepulauan Sumatra, ular yang juga langka, Trimeresurus Sumatranus”.
“Kau membuatku ikut penasaran, Alan. Kerja yang bagus”, Eddy tersenyum puas lalu memalingkan wajahnya ke pria berjas hitam di hadapannya.
“Ada bangkai di kapal, tolong diurus dan bersihkan”, perintahnya kemudian.
*_*_*
Suara guyuran air terdengar dari luar kamar mandi kecil di kamar tamu itu, di dalamnya, Eva sedang membersihkan tubuhnya, menyabuni setiap lekuk tubuh indahnya. Eva memandang ke lantai keramik di bawahnya, diam sejenak, mencoba mengingat apa yang dipesankan Ian sebelum mereka meninggalkan kapal. Eva membawa misi khusus dari Silent Rose, butuh kesiapan mental untuk melaksanakan misi tersebut. Guyuran air hangat saja belum cukup untuk menenangkan gundahnya, namun setidaknya, itu dapat menenangkan pikirannya.
Tidak jauh dari rumah yang digunakan untuk menerima tamu terdapat sebuah rumah megah berlantai dua. Itulah rumah utama tempat Fondo tinggal, dikelilingi oleh laut di sisi utara, dan tebing-tebing terjal di sisi lainnya menjadikan rumah itu sangat terlindung. Ada sepetak jalan tanah di belakang rumah itu, jalan yang menghubungkan ke bagian belakang pulau. Di belakang pulau itulah Noisy Canary, target Lazy Franginpani bersembunyi sebagai kepala pengawas hutan.
Di salah satu sisi tebing yang cukup tinggi, dua orang pria sedang menatap ke arah jendela ruang kerja Fondo muda. Jendela yang selalu tertutup rapat. Suasana sekitar rumah itu terlihat lengang, tapi tidak bagi kedua pria yang memperhatikan dari jauh, mata kedua pria itu cukup terlatih untuk melihat gerakan-gerakan samar yang bersembunyi di balik temaramnya lampu sekitar rumah.
“Kau yakin akan melakukannya malam ini, Rose?”, Lazy Franginpani berbisik mendesis, seolah-olah semak belukar yang menyembunyikan sosok mereka dapat mendengar dan berteriak.
Ian tidak menjawab, masih sibuk mengatur beberapa perlengkapan senjatanya. “Penundaan tidak ada dalam rencanaku, Franginpani”, jawaban Ian singkat dan jelas. Menurutnya, sebuah rencana harus disusun sedemikian mungkin dengan meminimalkan adanya penundaan, bertolak belakang dengan metode Lazy Franginpani yang penuh dengan penundaan. Silent Rose lebih memilih menjemput ketimbang menunggu.
Ian memeriksa kembali posisi dan dudukan XM2010-ESR-nya tanpa banyak suara. Sesekali dia mencoba mengintip melalui extention binocular yang telah dimodifikasinya. Ian memutar senjatanya ke beberapa sudut sebelum tersenyum puas.
“Tidak ada waktu untuk istirahat, Franginpani. Terima kasih telah membantuku menurunkan perlengkapan yang cukup merepotkan ini. Segera setelah aku selesai, kita akan langsung berpindah ke titik tertinggi”, Ian menunjuk sebuah tebing yang merupakan tebing tertinggi di pulau itu. “Menurut perhitunganku, kita butuh waktu dua jam. Sebentar lagi pertunjukan akan dimulai, mungkin kau sudah melihatnya di kapal, tapi kalau berkenan, silakan melihat lagi”, ujarnya sambil menunjuk ke binocular senjatanya. Lazy Franginpani hanya menggeleng.
“Apa isi kotak kecil yang berat ini?”, Lazy bertanya sambil mengangkat kotak kecil yang dibawanya bersamaan dengan kotak senjata milik Silent Rose.
“Itu freezer kecil”, jawab Ian dingin. “Nanti juga kau tahu”.
*_*_*
(bersambung)
Comments
Post a Comment